Monday, May 30, 2011

Penjual Bakso



Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya lewat depan pintu rumahku.
Ting ting ting.
Seperti suara mangkok dan piring peninggalan ibuku.
Berulang kali ting ting ting, tak ada yang keluar membeli bakso.
Tak ada peronda duduk-duduk di gardu.
Semua sedang sibuk menghangatkan waktu.

Aku tak ingin makan bakso, tapi tak apalah iseng-iseng beli bakso.
Aku bergegas mengejar tukang bakso ke gardu ronda.
Bakso! Terlambat.

Penjual bakso dan anaknya sedang gigih makan bakso.
Airmata penjual bakso menetes ke mangkok bakso.
Anak penjual bakso tersengal-sengal, terlalu banyak menelan bakso.
Kata penjual bakso kepada anaknya,
“Ayo, Plato, kita habiskan bakso kita. Kasihan ibumu.”

Mereka yang makan bakso, aku yang muntah bakso.

by.Joko Pinurbo (2004)


pertama kali baca puisi ini saya sempat berhenti sejenak dan langsung teringat beberapa hal..*sedih*
hal yg sama yg pernah saya tanyakan kepada diri sendiri dan teman-teman,
"kalo misalnya jualannya bapak itu gak abis, dimakan sendiri la'an tiap hari?"
iya, saya yang muntah bakso padahal baru membayangkan hal itu saja. tiap hari makan bakso.
tidak berlaku pada penjual bakso saja. semua yang kita temui sehari-hari. tahu tek, tahu campur, soto, pecel, pentol, gorengan, eskrim.
orang jual koran, jual map/peta di lampu merah, jual hiasan mobil, jual ipin upin, jual korek api, yaaa..semuanya deh.

~ngenes. akeh2 bersyukur & sedekah ae yo, wahai manusia2 yg hidupnya sungguh jauh dari kemiskinan harta dan hati, yang sungguh lebih dari yg namanya hidup berkecukupan.