Tuesday, May 25, 2021

Pertama Kali Tatap Muka

Bismillah, hari ini saya ingin sedikit cerita, flashback saat pertama kali teman pengajian di masjid Al Falah mengajak ke kajian rutin membahas kitab insyaAllah pertengahan tahun 2016, 

"Ayo, mau ta kamu ikut pengajian isinya orang cadaran ? Ini pengajiannya berat, sangar-sangar... Biasanya pinjem rumahku soalnya masjidnya atapnya runtuh masih dalam perbaikan."

"Bahasan apa ?"

"Apa ya ? Lupa soalnya ganti judul nih. Nanti aku kirim jadwalnya."

Kemudian saya dikirimi sebuah jadwal/poster sederhana. Simple aja. Lawas banget lah designnya.

Aku membaca judulnya : FIQH JENAZAH

MasyaAllah, .... merinding ya ? 
Dari remaja sudah sering dengerin tausiyah, tapi belum pernah saat menginjak usia 20 betul-betul membahas sebuah kitab untuk mendalami islam dalam rangka memperbaiki iman, taqwa, banyak hal ttg kehidupan dan akhlak saya sendiri.

Sampai sekarang saya masih terkesima dengan skenario Allah yang mengetuk pintu pertama menjadi penuntut ilmu syar'i dari jalan pembahasan KEMATIAN, lebih lagi MENGURUS KEMATIAN SESEORANG / JENAZAH.

Catatan kajian pertama saya.

Pada saat itu, kondisi saya putus asa, sedih berlarut, lelah, penuh emosi yang tertahan, kondisi fisik mudah lelah, usaha mulai nol modal habis bis tanpa laba, lamaran kerja tak bersambut, dan mempertanyakan kenapa saya berada di kota ini ? Sesal tiada tara saya kembali ke kota ini. Namun, semua jalan yang Allah pilihkan ada sisi syukur dan hikmahnya, meski kita tak menyukai pilihan ini.

Tanpa prejudice, saya mendatangi kajian tsb dengan rok panjang, atasan panjang dan hijab sepinggang. Sekalipun saya belum pernah memakai set syar'i. Niat saya ingin lepas dari belenggu kebodohan dalam menyikapi masalah dan ingin mencari ketenangan dengan bermajelis bersama lingkungan yang baik.

MasyaAllah sempet minder karena rumah teman saya ini seperti sinetron besarnya dan beberapa mobil berderet. Petugas Parkir ramah mengarahkan ke sisi jalan. Masuk pun sungguh canggung. Ketika masuk saya hanya bisa melihat para muslimah. Saya pikir, ustadznya di mana ya ? Cuma dengar suaranya.

Para muslimah ini berpakaian hijab panjang dan gamis panjang gombrong berwarna gelap. Nah, saya masih belum tahu kalau pada pakai cadar atau tidak karena kan mereka sebagian besar copot cadar. Pemandangan pertama kali dan semua terlihat fokus dan ramah. Ibu-ibu cenderung santai sekali. Mukanya tidak ada yang berkesan galak.

Kalau dulu saat kuliah di ITS, outfit seperti ini hanya satu dua seliweran di Manarul 'Ilmi. Dalam hati saya setelah 2 jam ikut kajian, lah hati malah plong. Ndak terbukti kalau pengajianne sangar kereng galak. Lha wong gimana. Pembahasannya mentalkin jenazah, yang ada sepanjang kajian inget orang tua yang sudah sakit dan saya sendiri yang pengen b*n*h d*ri. Hmm...ternyata ini ada tuntunannya semua.

Akhirnya sampai sekarang saya ketagihan karena para asatidz pemateri menyampaikan ( yang terpenting ) secara ilmiah dan tata bahasa yang baik namun tetap tegas dan jelas. Semakin hari mengikuti kajian, benang kusut semakin terurai karena perbekalan ilmu agama untuk dunia dan akhirat.

Sekian deh sekilas balik dari saya. Semoga kalian juga sudah dapat moment hidayahnya untuk niat ikhlas menuntut ilmu bukan untuk cari tenar jadi selebgram, da'i dadakan ataupun cari jodoh apalagi cari rezeki harta. Yang paling susah istiqomah. Ingatlah terus moment awal perjuangan kita, semangat kita awal menuntut ilmu agar tidak merasa bosan dan yo wis.

Bagi yang ingin membaca ringkasan kajian yang saya ikuti, bisa klik di sini :

Barakallahu fiikum wa uhibbukum fiddiin 💕

Saturday, May 22, 2021

Anxiety Begins at 25

Setiap kali apabila aku terbangun pukul 23.30 WIB hingga menjelang pukul 03.00 WIB, aku merasa was-was jikalau pada rentang waktu itu mendengar suara yang tidak wajar. Ke was was an ini ada alasan yang tidak bisa aku bagi di akun publik.

Hal ini terjadi sudah tahunan, terutama semenjak aku kembali tinggal di rumah orang tuaku di tahun 2015. Semakin parah ketika menginjak pandemi.

Triggernya karena sesuatu momen dan beberapa orang yang melakukan sesuatu hal sehingga aku selalu gundah setiap terbangun malam. Cukup membuat trauma. Salah satu trigger yang bisa saya ceritakan adalah ada orang gila yang masuk ke rumah pada malam hari menjelang sahur.

Sebenarnya rasa gelisah ini tidak hanya terasa di malam hari saja. Siang hingga sore seperti ini, namun tidak separah malam hari. Ini pun ada alasannya yang tak bisa aku bagi ke publik.

Sungguh aku merindukan suatu tempat berteduh yang aman, minimalis dengan tidak terlalu banyak orang dan barang yang diurus. Aku merindukan rumah yang private, kehidupan yang tenang dan teratur tanpa tuntutan publik. Rumah yang diimpikan itu beserta keluarga yang sejalan.

Sebenarnya tempat tinggal impianku adalah sebuah rumah yang berkonsep tanpa tamu. Seperti aku sedang liburan keluarga di sebuah villa atau bungalow dengan beberapa lahan terbuka terkena sinar matahari terbit. Merindukan rumah pelepas lelah bukan penambah lelah. Merindukan tempat yang aman untukku membuka hijab, berpakaian pendek dan memakai daster sesuka hati saatku berjalan di rumah, ke kamar mandi, saat memasak dan mencuci.

Banyak alasannya, kenapa aku lebih tenang tinggal sendiri di antah berantah daripada di rumah yang selama ini aku tempati.