Monday, October 7, 2019

The Greatest Wealth is A Poverty of Desires

[ My Instagram Post on September 19th, 2017 ]


     As a child, I always be an introvert person. I remembered taking a lot of personality test and it showed all was ( and is ) introvert. I have a very personal and family issues that make me cannot open and become an extrovert. Let me give you some stories, why this quote hits me for the very first time I read and I still keep in my heart.

     Selama hampir 30 tahun menjalani hidup dengan banyak mendengar daripada berbicara, banyak sekali hal-hal yang saya analisa dari orang-orang yang pernah saya temui. Ada senang dan banyak sedihnya. Ya, kita paham manusia banyak yang mengecewakan, terutama pada zaman ini. Sebuah kesan saya dari mulai kecil hingga umur 25 tahun, saya merasa betul-betul kecewa dengan banyak orang. Saya merasa sebagai anak muda, sangat kurang orang dewasa yang bisa menjadi teladan dan contoh yang baik. That's why, saya lebih suka menyendiri di dalam kamar dan membaca buku. Banyak julukan yang dilemparkan kepada anak seperti saya karena saya sangat diam. Teman sebaya menjauhi dan orang dewasa mengatakan,"Cacat mental ya? Bisu ya?" dan julukan lainnya. Well, saya besar dengan memikirkan dan menjalaninya sendiri karena orang tua sibuk dengan pekerjaan dan masalah sendiri. Pulang sekolah full day persiapan dari pukul 5.30 pagi hingga sampai rumah pukul 5 sore, saya lanjut les mengaji. Pada kelas 6 SD saya mulai mengambil bimbingan belajar hingga saya lulus SMA. Jadi full belajar. Weekend les Bahasa Inggris dengan berbagai macam murid dengan usia dan background yang sangan variatif. Jadi bisa dikatakan, kontak dengan orang tua dan saudara sangatlah minim sekali. Bahkan memori saya seperti hilang sebelah mengenai masa kecil saya. Maka karakter diri terbentuklah menjadi pribadi yang tertutup dan jarang curhat.

     Entah bagaimana, saya punya kepekaan sendiri dalam memperhatikan seseorang. Kepekaan ini diikuti dengan kenyamanan atau ketidaknyamanan hati. Contoh mudahnya, seseorang yang saling mengirim sinyal mata. Baik itu dalam rangka naksir atau nge-prank. Ini bukan indigo ya karena saya sama sekali belum pernah lihat setan apalagi sampai bisa baca pikiran orang. Namun dengan banyak membaca buku terutama buku psikologi dan detektif, saya cepat tanggap terhadap sesuatu. Contoh, kita berbicara dengan orang dan saya melihat dia mulai berbohong atau tidak nyaman, saya bisa tangkap gerak-geriknya dan memberhentikan percakapan dengannya. Saya juga tidak ingin mendengarkan kebohongan lawan bicara. Baik itu white lies apalagi yang black lies. Rasanya otak dan hati ini tidak pernah lelah berpikir dan menganalisa sekitar. Sampai pada suatu titik, saya sudah lelah dengan semuanya.

     Rasa lelah ini sudah dari SMP saya alami. Tidak seperti remaja lainnya, sudah banyak hal terjadi di dalam keluarga saya yang menuntut saya tidak bisa se-enjoy anak seumuran saya. Padahal bisa dibilang saya adalah anak orang menengah ke atas. Namun saya tidak paham soal merk baju, kendaraan, hape, lawan jenis kece belece. Saya tahunya dan excitednya cuma sama buku. Happy banget kalau bisa beli episode terbaru atau baru launching. Dulu saya juga happy dengan crayon yang warna warni. Happy tiap sore beli bakso tusuk dan gorengan dengan saus dan kecap yang banyak. As simple as that.

     Pada zaman kuliah, saya sudah mengenal konsep ketenangan dalam hidup. Waktu itu menyimak beberapa sastrawan, budayawan dan website mengenai Zen habit yaitu hidup minimalis kalau bahasanya sekarang. Terbentur dari kepercayaan, saya hanya ambil yang sesuai dengan ajaran agama saya. It's funny how young lady already search for living quiet. Mungkin ini menunjukkan bagaimana stressnya saya. Sebenarnya bukan ke arah bagaimana stressnya saya, namun saya merasa sungguh sangat berbeda pemikiran dari kebanyakan orang seumuran. Ketika mulai mengelana di Ibukota, Jakarta, saya banyak melihat berbagai macam orang dan situasi. Kehidupan drastis yang saya jalani di ibukota betul-betul banyak memberikan pelajaran hidup yang sangat konkrit. Sepanjang saya melihat kehidupan saya dan kehidupan orang-orang di sekitar saya saat saya di Jakarta, saya betul-betul yakin bahwa happiness is not equal with richness. How it happened ?

     Saya besar di lingkungan menengah ke atas, bisa membeli mainan berupa barbie, mobil-mobilan, games etc. Pada saat SMA karena suatu hal yang tidak bisa saya utarakan, perekonomian keluarga menurun drastis. Alhamdulillah bisa dikatakan menengah, itu pun saya lihat ibu saya mati-matian kerja dari pagi sampai malam which is actually I'm not agreed on. Saya berharap hidup sederhana saja asal bisa saling dekat dalam satu keluarga. But, we have so much different prespectives about life. I respect her and I know how hard her life is. Turning point bahwa harta itu benar-benar tidak ada maknanya adalah saat saya resign dari Jakarta dan rehat sebentar dari pekerjaan untuk mencari sebuah jalan hidup yang benar. Saya merasakan dahulu saat setelah baligh saya tidak bahagia, tidak ceria dan cenderung judes. Padahal saya anak orang punya. Teman-teman saya banyak orang punya juga tapi saya tidak terkesan bahagia. Menginjak SMA saya memilih sekolah negeri, saya memiliki ketakutan berteman dengan orang berada dan gaul ( dikenal banyak siswa ). Seperti rasa yang tidak nyaman. Begitu pun saat kuliah di salah satu institut di Surabaya. Namun perasaan ini pastinya saya simpan sendiri.

     Memang betul ya, bekerja dengan keringat sendiri adalah salah satu cara membuat pikiran kita njejek ( fully grown ). Setiap hari saya mendengar pegawai bahkan bos dengan gaji 10 juta ke atas, masih mengeluh masalah harta. Tiap hari mengeluh macet lah, gaji kurang lah, sayur naik 500-1000 rupiah mereka mengeluh. Saya dalam hati heran kenapa bisa begitu. Padahal di Jakarta itu pengemis, gembel, pedagang kecil, anak jalanan banyak terlihat di jalanan sampai rasanya hati ini tidak cukup untuk menampung rasa simpati kepada mereka. Sedangkan saya berteman dengan rekan kerja yang gajinya bisa dibilang di bawah UMR dan kita jarang membahas kekurangan harta. Alhamdulillah Allah beri rekan kerja yang baik. Saya lihat rekan kerja saya meski dengan gaji segitu tidak pernah mengeluhkan masalah sekolah anaknya. Sampai terkadang terceletuk dari mulutnya,"Mereka itu kurang apa ya ?" ketika mendengar keluhan dari pegawai yang gajinya di atas UMR. Ya, saya waktu itu meringis saja.

     Setelah saya resign dan aktif di kegiatan sosial dan dakwah, saya juga tetap menemui hal yang sama. Heran juga. Padahal komunitas ini adalah kumpulan orang-orang yang mementingkan akhiratnya daripada dunianya. Maka hawa nafsu itu tidak melihat mana orang Islam, mana orang kafir, mana orang miskin, mana orang kaya, mana orang sudah ngaji, mana yang belum ngaji, mana yang bisa baca Al Qur'an mana yang tidak bisa baca. Banyak orang, entah itu dalam berbicara dan beramal, dan bahkan dalam menasehati perkara kebaikan pun mereka mengedepankan hawa nafsunya. Hal ini merusak kesempurnaan niat untuk beramal shalih. Hawa nafsu juga bisa merusak materi, fisik dan bathin seseorang, baik pelakunya atau objeknya.

     Kekayaan bisa dibagi dua, yaitu kekayaan lahir dan bathin. Kekayaan lahir berupa fisik, tenaga, harta, intelektualitas. Kekayaan bathin berupa pemahaman agama, psikologis, cara berpikir, dan kondisi spiritual. Kekayaan lahir dan bathin ini jika terpenuhi maka akan muncul kepuasan atau kecukupan. Orang yang tidak puas biasanya pasti memiliki kekurangan dalam lahir atau bathinnya. Bagi saya, jika seseorang sudah memiliki tempat tinggal ( dari tembok bata dan atap genteng ) dengan luasan yang cukup untuk beraktivitas sehari-hari, punya mobil 1 dengan mesin tahun 2000an, bisa makan 3x sehari, anak-anak bisa sekolah minimal tarif setara dengan sekolah negeri, maka itu sudah cukup. Tidak perlu menjatuhkan diri dengan mengatakan masih miskin. Padahal hisab mereka jauh lebih sedikit daripada orang yang memiliki rumah besar, mobil lebih dari satu dan seterusnya. Nah, apalagi mereka yang punya juga jangan selalu merasa kurang harta sehingga takut untuk bersedekah. Terkadang pula bukan harta yang membuat diri merasa kurang. Jabatan, kondisi anak, kondisi mertua, kondisi menantu dan lain-lain. Sebenarnya ini manusiawi jika hal ini disimpan sendiri atau jadi bahan diskusi keluarga, namun apabila keluar dari mulut kita dan membanding-bandingkan dengan orang lain meski itu orang-orang yang kita kenal, maka hal ini sungguh sangat menyakitkan hati. Pada permasalahan rejeki orang lain, kita tidak tahu apa saja yang Allah amanahi kepada mereka dan apa saja yang Allah sudah ambil ( kurangi ) dari mereka. Perkataan dan pemikiran yang tidak berguna seperti ini diakibatkan karena manusia lebih senang mengumpulkan dan mengkayakan hawa nafsunya. Maka dari ini kekayaan dengan diikuti kepuasan hati dan kecukupan materi bisa diraih hanya dengan kurangnya atau miskinnya hawa nafsu yang membelenggu diri kita.

     

2 comments:

  1. introvert selalu memiliki bahasa yang mendalam dalam menyampaikan apa yang dirasakannya .
    wkwk

    hai mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hai mba Aini,

      introvert kebanyakan memendam perasaan jadinya sok iye dibuat tulisan. hahaha.

      Thank you sudah mampir dan menuliskan jejak. Semoga istiqomah nulisnya.

      Delete